December 18, 2014

Memaknai Perayaan Natal: Antara Tradisi dan Pandangan Modern



Secara global, Natal harus ada pohon cemara, Sinter Klas plus Piet Hitam, dan tentu kado-kado cantik. Artikel-artikel penarik atmosfer Natal ini seperti menjadi jargon ikonik yang menggantikan makna tanggal tersebut. Saya terdidik melalui masyarakat sosial, termasuk gereja, bahwa mitos dan aksesoris tersebut cukup untuk memaknai Natal. Natal yang selalu datang dengan harapan, harapan akan bingkisan kado, yang, entah dari mana, harus ada di hari-hari itu.

 Beberapa pusat perbelanjaan melengkapi industri pendukung Natal dengan menghadirkan acara-acara temu Sinter Klas plus Piet Hitam atau pentas kompetisi musik dan paduan suara gerejawi. Kenapa saya sebut industri? Melihat potensi besar dari pasar, tentu produsen harus jemput bola. Logika komersial ini menghadirkan produk-produk suplementer yang sebenarnya jauh dari kebutuhan dasar penunjang makna Natal. Ambil contoh keberadaan pohon cemara sebagai aksesoris yang tidak boleh absen di ruang tamu hampir semua umat kristiani, di sini saya tidak menemukan koherensi antara pohon cemara dan kelahiran Yesus. Atau Sinter Klas dan Piet Hitam. Seperti apa silogisme kehadiran mereka berdua yang berkontribusi dalam kelahiran Yesus? Tidak ada! Kedua hal tersebut melekat menjadi tradisi Natal dunia barat (kemudian menyebar ke dunia timur) yang ditunggangi kepentingan-kepentingan kapitalis, kepentingan yang melihat agama sebagai pasar potensial yang tidak habis dimakan zaman Namun saya tidak secara naif menyebut hal tersebut salah, hanya kurang baik secara substantif untuk pendidikan theologi.

Padahal Natal sendiri, sebagai momen inisiasi munculnya kekristenan, memiliki banyak sekali kontroversi terkait tanggalnya. Rentang waktu yang jauh, melewati beberapa pergantian penanggalan, dan persebaran sejarah yang saling klaim, sepertinya mampu mengaburkan fakta sejarah tentang tanggal persisnya. Mengutip sejarawan dan budayawan Indonesia, Bambang Noorsena, penetapan hari Natal mula-mula ditentukan oleh pemimpin Gereja Ortodoks Koptik di Mesir pada 180 M yaitu Pope Demetrius of Alexandria (berdasar Koptik Didas Kalia Apostolorum) yang sudah menggunakan penanggalan Bintang, yaitu pada tanggal 29 bulan Kyiah. Sebelumnya, Gereja Mula-Mula masih menggunakan penanggalan orang Farisi, yaitu penanggalan Qamariah. Tanggal 29 bulan Kyiah Mesir ini setara dengan tanggal 24 bulan Tebet di Ibrani dan tanggal 7 bulan Januari penanggalan matahari Jullian (penanggalan bangsa Yunani Ortodoks yang mulai digunakan bersamaan dengan berdirinya kota Roma), bahkan setara dengan tanggal 19 bulan Januari penanggalan Kapadokian oleh Gereja Armenia. Baru kemudian pada abad ke-15 dilakukan revisi penanggalan Jullian ke Gregorian (dari paus gregorious XIII), yang otomatis merubah ke tanggal 25 bulan Desember.

Tentu fakta sejarah ini hanya satu serpihan kecil untuk mendukung makna Natal, makna kelahiran Yesus. Karena keimanan memang sudah seharusnya bersinergi dengan sejarah. Kemudian, saya menganggap, opini-opini pendukung tentang ritus-ritus pagan Dewa Matahari yang dikaitkan dengan tanggal tersebut merupakan bumbu-bumbu yang memang harus ada untuk menguji kebenaran historis tentang kelahiran Yesus. Persoalan beberapa gereja yang kemudian antipati tentang perayaan 25 Desember, tentu bukan di sini ranah pembahasannya, selain memang bukan domain dari saya.





Berbicara mengenai Natal di Lyon, penting bagi kita untuk menilik tradisi religius di kota ini. Lyon merupakan kota pertama di Perancis (sejak abad ke-3) yang mengadopsi dan mempertahankan pandangan Katolik yang  cenderung konservatif dan sulit mengikuti dinamika kekristenan. Satu contoh, adat Gereja Katolik seringkali menentang pernikahan antara pasangan Katolik-Protestan, dengan anggapan bahwa doktrin-doktrin dari Gereja Protestan adalah tidak benar dan menyalahi tradisi Gereja Mula-Mula. Padahal, lahirnya gereja Protestan adalah bentuk gerakan reformasi tentang penyelewengan melalui tindakan oligarki dan tirani oleh gereja Katolik Roma sebagai pemegang kekuasaan di era 1500 M. Namun sebenarnya, internal Gereja Katolik pada abad  ke-12 di Perancis sudah melakukan gerakan reformasi tentang hal-hal tersebut (dipimpin oleh Peter Waldo, yang sekarang dikenal sebagai gereja Waldensis). Belum lagi paradigma tentang doktrin dan liturgi yang dapat berbeda sama sekali. Dalam hal ini saya pernah mendengar satu opini dari satu Lyonnais1, bahwa komunitas tempat saya beribadah tidak bisa disebut sebagai gereja2. Di sisi lain Gereja Protestan pun sebenarnya tidak bisa dikatakan yang terbaik, karena berbanding lurus dengan waktu, denominasinya begitu dinamis dan kadang menjadi lepas kontrol. Ambil contoh keberadaan misionaris-misionaris yang gerilya di daerah jajahan pada era Kolonialisme, mereka begitu mudahnya menukar keimanan penduduk setempat dengan kebutuhan-kebutuhan primer dan sekunder yang cenderung modernis dan menghapus tradisi serta kearifan lokal. Meskipun harus diakui dan terbukti efektif, tapi hal ini seperti melempar bumerang benih pergolakan.

Merujuk fakta-fakta tentang kekristenan di atas, Eropa (khususnya Lyon) dan  Natal adalah paduan antara pandangan modern dan tradisi ribuan tahun. Disebut modern karena kebanyakan masyarakatnya mulai berpikir logis, menganggap religiusitas sebagai hal tabu yang menjadi persoalan pribadi, atau bahkan ranah pengganggu. Pandangan ini berbeda dengan adat ketimuran yang cenderung memegang prinsip-prinsip tradisional orang tua yang turun-temurun. Meskipun hasil akhir dari kedua blok adat ini tetap saling merayakan 25 Desember bersama keluarga, cara merayakannya pun sama, sama-sama beribadah di gedung gereja masing-masing. Secara garis besar juga memaknai hal yang sama, namun jauh di dalam, kami sama-sama paham tentang adanya perbedaan yang substantif. Entah perbedaan di hulu atau di hilir.



Tidak banyak yang terjadi di Lyon pada Natal, bahkan malam Natal jalanan amat sepi. Hanya ada beberapa orang yang sepulang dari ibadah malam Natal untuk sekedar makan malam atau ngopi di kafe. Hampir semua butik tutup, menyisakan lampu kerlap-kerlip di etalasenya, bertuliskan “Soldes” atau “Joyeux Noel”. Tidak ada pohon cemara bersalju atau paduan suara keliling seperti di film-film Hollywood. Karena kebanyakan orang sebelum Natal sudah memilih untuk berkumpul dengan orangtua dan saudara di daerah asal mereka (ini adalah tradisi warga Eropa, baik itu Katolik maupun Protestan), sedang lainnya memilih berlibur ke Alpen atau Grenoble untuk bermain ski. Sedikit kecewa? Ya, karena bertahun-tahun menjadi seorang Kristiani, saya selalu melewati Natal dalam suasana hiruk pikuk, entah rapat persiapan perayaan Natal, latihan drama/musik/paduan suara, sampai menghias gedung gereja, yang notabene tidak saya temukan dalam dua kali Natal terakhir.




Bersyukur dengan adanya Persekutuan Doa Ouikumene3 Lyon setahun terakhir, yang diinisiasi ibu-ibu Franco-Indo3. Selain ibadah rutin bulanan, setahun ada 2 acara besar, tentu saja Paskah dan Natal. Postur Natal terakhir cukup lengkap untuk dapat dikatakan sebagai perayaan, ada struktur organisasi, rapat pembahasan tema dan pernak-pernik pelengkap acara, serta tentu saja rentetan latihan musik. Yah, untuk acara Natal sekaliber komunitas 30an orang, terbilang sukses dan meriah, bahkan saya klaim sudah mampu meredam rasa kangen tentang Natal-an di tanah air.

Rentetan acara setelah Natal yaitu Tahun Baru. Ada fakta menarik tentang perayaan pesta di Perancis, semua pesta-pesta hari besar apapun tidak boleh lebih meriah dari 14 Juli, Hari Nasional Perancis atau La Fête Nationale. Jadi kemeriahan tahun baru sama sekali tidak ada di Lyon, bahkan Paris. Tahun lalu, saya sendiri berkesempatan menghabiskan akhir tahun di Milan. Sama seperti kebanyakan kota di dunia, malam tahun baru jalanan begitu riuh dengan manusia, aroma bir dan puntung rokok dimana-mana. Semua jalur transportasi menuju kota selalu penuh sesak, karena di pusat kota ada panggung besar dengan artis-artis yang sudah terdaftar untuk memeriahkan malam tahun baru. Dan klise, di puncak malam tahun baru ada pesta kembang api sensasional. Bahkan banyak orang yang sudah menyiapkan petasan-petasan kecil untuk saling dilemparkan ke pengunjung atau turis yang sedang lengah.

Sedikit penutup, pesta atau perayaan atau apapun itu seringkali tidak merepresentasi makna di balik kemunculannya. Bahkan hal-hal yang seharusnya substantif dan sakral tergantikan oleh ikon-ikon yang ditujukan untuk memuaskan rekening para punggawa kapitalis. Fenomena ini tidak hanya hinggap di kekristenan, tapi juga agama-agama lain. Religiusitas dianggap sudah sama derajatnya dengan Nasionalisme. Karena, sejujurnya menurut saya, agama hanya buah pikir manusia dampak dari relung kosong yang tidak terjelaskan. Yang kedua adalah sikap hati dan dasar pola pikir terhadap makna dan sejarah di balik perayaan itu. Berapa banyak dari umat Kristiani yang begitu tidak peduli tentang fakta-fakta sejarahnya? Hanya sekadar rutin beribadah, memahami, dan mengejawantahkan perintah-Nya. Tanpa sadar betapa rapuhnya pondasi keimanan yang mereka bangun dalam  korelasinya untuk menyikapi kebenaran.


Penulis: Dimas Dibiantara (M2 - INSA Lyon)


Sumber :
-  Khotbah Bambang Noorsena (Fakta Sejarah Natal)
-  Tulisan Alexander Maria Wang (Kalender Gregorian)
-  Wikipedia (Paus Gerejawi, Protestanisme, dan Hari Bastille)

Catatan Kaki :
1. Gereja dalam pengertian kristiani tidak selalu berarti bangunan fisik.
2. Ouikumene adalah komunitas kristen yang tidak memandang denominasi gereja. Denominasi adalah aliran-aliran doktrin yang ada di
    dalam kekristenan.
3. Franco-Indo merujuk pada orang Prancis yang menikah dengan orang Indonesia.

December 08, 2014

Fête des Lumières 2014


Fête des Lumières 2014 atau Festival of Lights atau dalam bahasa Indonesia, Festival Cahaya adalah sebuah event tahunan yang berlangsung selama 4 hari pada awal Desember di Lyon, Prancis. Acara terbesar ketiga di dunia ini, menarik lebih dari 3 juta pengunjung dari dalam dan luar negri. Acara ini berlangsung sejak 5 hingga 8 Desember 2014.