Memaknai Perayaan Natal: Antara Tradisi dan Pandangan Modern
Secara global, Natal harus ada pohon cemara, Sinter Klas plus Piet Hitam, dan tentu kado-kado cantik. Artikel-artikel penarik atmosfer Natal ini seperti menjadi jargon ikonik yang menggantikan makna tanggal tersebut. Saya terdidik melalui masyarakat sosial, termasuk gereja, bahwa mitos dan aksesoris tersebut cukup untuk memaknai Natal. Natal yang selalu datang dengan harapan, harapan akan bingkisan kado, yang, entah dari mana, harus ada di hari-hari itu.
Beberapa pusat perbelanjaan melengkapi
industri pendukung Natal dengan menghadirkan acara-acara temu Sinter Klas plus Piet
Hitam atau pentas kompetisi musik dan paduan suara gerejawi. Kenapa saya sebut
industri? Melihat potensi besar dari pasar, tentu produsen harus jemput bola. Logika
komersial ini menghadirkan produk-produk suplementer yang sebenarnya jauh dari
kebutuhan dasar penunjang makna Natal. Ambil contoh keberadaan pohon cemara
sebagai aksesoris yang tidak boleh absen di ruang tamu hampir semua umat
kristiani, di sini saya tidak menemukan koherensi antara pohon cemara dan
kelahiran Yesus. Atau Sinter Klas dan Piet Hitam. Seperti apa silogisme
kehadiran mereka berdua yang berkontribusi dalam kelahiran Yesus? Tidak ada!
Kedua hal tersebut melekat menjadi tradisi Natal dunia barat (kemudian menyebar
ke dunia timur) yang ditunggangi kepentingan-kepentingan kapitalis, kepentingan
yang melihat agama sebagai pasar potensial yang tidak habis dimakan zaman Namun
saya tidak secara naif menyebut hal tersebut salah, hanya kurang baik secara
substantif untuk pendidikan theologi.
Padahal
Natal sendiri, sebagai momen inisiasi munculnya kekristenan, memiliki banyak
sekali kontroversi terkait tanggalnya. Rentang waktu yang jauh, melewati
beberapa pergantian penanggalan, dan persebaran sejarah yang saling klaim, sepertinya
mampu mengaburkan fakta sejarah tentang tanggal persisnya. Mengutip sejarawan
dan budayawan Indonesia, Bambang Noorsena, penetapan hari Natal mula-mula
ditentukan oleh pemimpin Gereja Ortodoks Koptik di Mesir pada 180 M yaitu Pope
Demetrius of Alexandria (berdasar Koptik Didas Kalia Apostolorum) yang sudah
menggunakan penanggalan Bintang, yaitu pada tanggal 29 bulan Kyiah. Sebelumnya,
Gereja Mula-Mula masih menggunakan penanggalan orang Farisi, yaitu penanggalan
Qamariah. Tanggal 29 bulan Kyiah Mesir ini setara dengan tanggal 24 bulan Tebet
di Ibrani dan tanggal 7 bulan Januari penanggalan matahari Jullian (penanggalan
bangsa Yunani Ortodoks yang mulai digunakan bersamaan dengan berdirinya kota
Roma), bahkan setara dengan tanggal 19 bulan Januari penanggalan Kapadokian
oleh Gereja Armenia. Baru kemudian pada abad ke-15 dilakukan revisi penanggalan
Jullian ke Gregorian (dari paus gregorious XIII), yang otomatis merubah ke
tanggal 25 bulan Desember.
Tentu
fakta sejarah ini hanya satu serpihan kecil untuk mendukung makna Natal, makna
kelahiran Yesus. Karena keimanan memang sudah seharusnya bersinergi dengan
sejarah. Kemudian, saya menganggap, opini-opini pendukung tentang ritus-ritus
pagan Dewa Matahari yang dikaitkan dengan tanggal tersebut merupakan
bumbu-bumbu yang memang harus ada untuk menguji kebenaran historis tentang
kelahiran Yesus. Persoalan beberapa gereja yang kemudian antipati tentang
perayaan 25 Desember, tentu bukan di sini ranah pembahasannya, selain memang
bukan domain dari saya.
Berbicara
mengenai Natal di Lyon, penting bagi kita untuk menilik tradisi religius di
kota ini. Lyon merupakan kota pertama di Perancis (sejak abad ke-3)
yang mengadopsi dan mempertahankan pandangan Katolik yang cenderung konservatif dan sulit
mengikuti dinamika kekristenan. Satu contoh, adat Gereja Katolik seringkali
menentang pernikahan antara pasangan Katolik-Protestan, dengan anggapan bahwa
doktrin-doktrin dari Gereja Protestan adalah tidak benar dan menyalahi tradisi
Gereja Mula-Mula. Padahal, lahirnya gereja Protestan adalah bentuk gerakan
reformasi tentang penyelewengan melalui tindakan oligarki dan tirani oleh
gereja Katolik Roma sebagai pemegang kekuasaan di era 1500 M. Namun sebenarnya,
internal Gereja Katolik pada abad ke-12 di Perancis sudah melakukan gerakan reformasi tentang
hal-hal tersebut (dipimpin oleh Peter Waldo, yang sekarang dikenal sebagai
gereja Waldensis). Belum lagi paradigma tentang doktrin dan liturgi yang dapat
berbeda sama sekali. Dalam hal ini saya pernah mendengar satu opini dari satu
Lyonnais1, bahwa komunitas tempat saya beribadah tidak bisa disebut
sebagai gereja2. Di sisi lain Gereja Protestan pun sebenarnya tidak
bisa dikatakan yang terbaik, karena berbanding lurus dengan waktu,
denominasinya begitu dinamis dan kadang menjadi lepas kontrol. Ambil contoh
keberadaan misionaris-misionaris yang gerilya di daerah jajahan pada era
Kolonialisme, mereka begitu mudahnya menukar keimanan penduduk setempat dengan
kebutuhan-kebutuhan primer dan sekunder yang cenderung modernis dan menghapus
tradisi serta kearifan lokal. Meskipun harus diakui dan terbukti efektif, tapi
hal ini seperti melempar bumerang benih pergolakan.
Merujuk
fakta-fakta tentang kekristenan di atas, Eropa (khususnya Lyon) dan Natal adalah paduan antara pandangan
modern dan tradisi ribuan tahun. Disebut modern karena kebanyakan masyarakatnya
mulai berpikir logis, menganggap religiusitas sebagai hal tabu yang menjadi
persoalan pribadi, atau bahkan ranah pengganggu. Pandangan ini berbeda dengan
adat ketimuran yang cenderung memegang prinsip-prinsip tradisional orang tua
yang turun-temurun. Meskipun hasil akhir dari kedua blok adat ini tetap saling
merayakan 25 Desember bersama keluarga, cara merayakannya pun sama, sama-sama
beribadah di gedung gereja masing-masing. Secara garis besar juga memaknai hal
yang sama, namun jauh di dalam, kami sama-sama paham tentang adanya perbedaan
yang substantif. Entah perbedaan di hulu atau di hilir.
Tidak banyak yang terjadi di Lyon pada Natal, bahkan malam Natal jalanan amat sepi. Hanya ada beberapa orang yang sepulang dari ibadah malam Natal untuk sekedar makan malam atau ngopi di kafe. Hampir semua butik tutup, menyisakan lampu kerlap-kerlip di etalasenya, bertuliskan “Soldes” atau “Joyeux Noel”. Tidak ada pohon cemara bersalju atau paduan suara keliling seperti di film-film Hollywood. Karena kebanyakan orang sebelum Natal sudah memilih untuk berkumpul dengan orangtua dan saudara di daerah asal mereka (ini adalah tradisi warga Eropa, baik itu Katolik maupun Protestan), sedang lainnya memilih berlibur ke Alpen atau Grenoble untuk bermain ski. Sedikit kecewa? Ya, karena bertahun-tahun menjadi seorang Kristiani, saya selalu melewati Natal dalam suasana hiruk pikuk, entah rapat persiapan perayaan Natal, latihan drama/musik/paduan suara, sampai menghias gedung gereja, yang notabene tidak saya temukan dalam dua kali Natal terakhir.
Bersyukur
dengan adanya Persekutuan Doa Ouikumene3 Lyon setahun terakhir, yang
diinisiasi ibu-ibu Franco-Indo3. Selain ibadah rutin bulanan,
setahun ada 2 acara besar, tentu saja Paskah dan Natal. Postur Natal terakhir
cukup lengkap untuk dapat dikatakan sebagai perayaan, ada struktur organisasi,
rapat pembahasan tema dan pernak-pernik pelengkap acara, serta tentu saja
rentetan latihan musik. Yah, untuk acara Natal sekaliber komunitas 30an orang,
terbilang sukses dan meriah, bahkan saya klaim sudah mampu meredam rasa kangen
tentang Natal-an di tanah air.
Rentetan
acara setelah Natal yaitu Tahun Baru. Ada fakta menarik tentang perayaan pesta
di Perancis, semua pesta-pesta hari besar apapun tidak boleh lebih meriah dari
14 Juli, Hari Nasional Perancis atau La Fête Nationale. Jadi kemeriahan tahun
baru sama sekali tidak ada di Lyon, bahkan Paris. Tahun lalu, saya sendiri berkesempatan
menghabiskan akhir tahun di Milan. Sama seperti kebanyakan kota di dunia, malam
tahun baru jalanan begitu riuh dengan manusia, aroma bir dan puntung rokok
dimana-mana. Semua jalur transportasi menuju kota selalu penuh sesak, karena di
pusat kota ada panggung besar dengan artis-artis yang sudah terdaftar untuk
memeriahkan malam tahun baru. Dan klise, di puncak malam tahun baru ada pesta
kembang api sensasional. Bahkan banyak orang yang sudah menyiapkan
petasan-petasan kecil untuk saling dilemparkan ke pengunjung atau turis yang
sedang lengah.
Sedikit
penutup, pesta atau perayaan atau apapun itu seringkali tidak merepresentasi
makna di balik kemunculannya. Bahkan hal-hal yang seharusnya substantif dan
sakral tergantikan oleh ikon-ikon yang ditujukan untuk memuaskan rekening para
punggawa kapitalis. Fenomena ini tidak hanya hinggap di kekristenan, tapi juga
agama-agama lain. Religiusitas dianggap sudah sama derajatnya dengan
Nasionalisme. Karena, sejujurnya menurut saya, agama hanya buah pikir manusia
dampak dari relung kosong yang tidak terjelaskan. Yang kedua adalah sikap hati
dan dasar pola pikir terhadap makna dan sejarah di balik perayaan itu. Berapa
banyak dari umat Kristiani yang begitu tidak peduli tentang fakta-fakta sejarahnya?
Hanya sekadar rutin beribadah, memahami, dan mengejawantahkan perintah-Nya.
Tanpa sadar betapa rapuhnya pondasi keimanan yang mereka bangun dalam korelasinya untuk menyikapi kebenaran.
Sumber :
-
Khotbah Bambang Noorsena (Fakta Sejarah Natal)
-
Tulisan Alexander Maria Wang (Kalender Gregorian)
-
Wikipedia (Paus Gerejawi, Protestanisme, dan Hari Bastille)
Catatan
Kaki :
1. Gereja
dalam pengertian kristiani tidak selalu berarti bangunan fisik.
2. Ouikumene
adalah komunitas kristen yang tidak memandang denominasi gereja. Denominasi
adalah aliran-aliran doktrin yang ada di
dalam kekristenan.
3. Franco-Indo
merujuk pada orang Prancis yang menikah dengan orang Indonesia.